Saat kita berbicara
tentang keberhasilan seseorang, kita sering mendengar istilah "kerja
keras" dan "usaha maksimal."
Namun tak jarang di
balik pencapaian tersebut ada faktor lain yang sering kali diabaikan yaitu privilege.
Privilege atau hak istimewa yang didapatkan karena faktor seperti kelas sosial,
etnis, atau jenis kelamin, memainkan peran besar dalam perjalanan hidup
seseorang.
Tetapi mengakui bahwa
kesuksesan yang dicapai tidak sepenuhnya berasal dari kerja keras pribadi,
melainkan karena adanya privilege adalah sebuah tantangan besar.
Mengapa demikian?
Bagaimana pengakuan terhadap privilege bisa menjadi hal yang tidak nyaman,
bahkan menimbulkan rasa malu? Tantangan dalam mengakui privilege khususnya
bagaimana orang merasa bahwa usaha dan kerja keras mereka akan dipertanyakan
jika mereka menerima kenyataan bahwa mereka mendapatkan keuntungan dari sistem
yang tidak adil.
1. Ketidaknyamanan
dengan Ide "Privilege"
Bagi banyak orang,
mengakui bahwa mereka memiliki privilege bisa sangat mengganggu. Dalam banyak
budaya terutama di negara-negara seperti Amerika Serikat, ada kepercayaan kuat
bahwa keberhasilan hanya bisa diperoleh melalui kerja keras dan kemampuan
pribadi.
Seiring waktu ide ini
telah membentuk pandangan bahwa siapa pun yang bekerja keras pasti bisa
sukses, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor eksternal seperti latar
belakang sosial, ras, atau gender.
Ketika seseorang
diberitahu bahwa mereka memperoleh manfaat dari sistem yang memberi keuntungan
kepada mereka secara otomatis (tanpa mereka harus berusaha), hal itu sering
kali dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas mereka.
Bagi mereka yang telah
terbiasa dengan cerita sukses "dari bawah", mengakui adanya privilege
berarti meruntuhkan gambaran tentang diri mereka yang mengandalkan usaha
semata.
Sebagai contoh
seseorang yang berasal dari keluarga kaya mungkin merasa bahwa pencapaiannya
sepenuhnya berkat kemampuannya sendiri, meskipun kenyataannya mereka mungkin
telah mendapatkan keuntungan dari koneksi atau sumber daya keluarga yang lebih
kuat dibandingkan orang lain
2. Tantangan
Menjaga Identitas "Pekerja Keras"
Salah satu reaksi
paling umum terhadap pengakuan privilege adalah upaya untuk membuktikan bahwa
mereka telah melalui kesulitan yang besar. Ini bisa dilihat sebagai cara untuk
mempertahankan narasi bahwa semua yang mereka miliki didapatkan melalui usaha keras.
Hal ini dikenal
sebagai "mitos bootstraps", di mana orang yang berada dalam
posisi yang diuntungkan sering kali mengklaim bahwa mereka "membanting
tulang" untuk mencapai apa yang mereka miliki.
Padahal mungkin banyak
aspek dalam hidup mereka yang tidak mereka peroleh melalui usaha mereka
sendiri, melainkan melalui akses yang lebih mudah kepada pendidikan, pekerjaan,
atau sumber daya lain.
Dalam konteks ini,
mereka yang mendapat keuntungan dari privilege sering kali mengada-ada tentang
kesulitan yang mereka hadapi. Sebagai contoh individu yang berasal dari
keluarga kaya mungkin membandingkan perjuangannya dengan orang yang lebih
miskin, meskipun akses mereka terhadap peluang jauh lebih besar.
Mengklaim kesulitan
yang lebih besar dari kenyataannya dapat menjadi cara untuk mempertahankan
citra diri mereka sebagai orang yang "layak" atas keberhasilan
mereka.
3. Ketakutan Akan
Dihargai Sebagai "Tidak Layak"
Selain ketidaknyamanan
untuk mengakui privilege, ada juga rasa takut bahwa pengakuan terhadap
keuntungan yang didapat dari privilege akan merusak rasa harga diri seseorang.
Jika seseorang
mengakui bahwa keberhasilannya tidak sepenuhnya berkat kerja keras, mereka
mungkin merasa bahwa orang lain akan melihat mereka sebagai "kurang
layak" atau bahkan tidak pantas. Padahal mengakui privilege bukan
berarti merendahkan pencapaian yang telah diraih tetapi lebih kepada memahami
bahwa keberhasilan itu bisa dipengaruhi oleh sistem yang lebih besar.
Rasa takut ini muncul
karena kita hidup dalam masyarakat yang sangat menghargai kerja keras sebagai
bentuk pencapaian yang sah. Mengakui bahwa seseorang mendapat keuntungan dari
faktor-faktor yang berada di luar kontrol mereka dapat mengancam struktur nilai
yang selama ini diyakini.
Ini juga terkait
dengan keinginan untuk tidak dipandang sebagai seseorang yang hanya mengandalkan
keuntungan semata, melainkan lebih ingin diakui karena kemampuan dan upaya
pribadi.
4. Menghadapi
Ketidaknyamanan untuk Mengubah Perspektif
Ketika seseorang
dihadapkan dengan fakta bahwa mereka mendapatkan keuntungan dari sistem yang
tidak adil respons awal sering kali adalah penolakan. Mereka mungkin merasa
bahwa jika mereka mengakui adanya privilege, mereka akan dipandang sebagai sosok
yang tidak berusaha keras.
Namun penolakan
terhadap kenyataan ini justru memperburuk ketidaksetaraan yang ada. Semisal di
dunia bisnis, orang yang berasal dari latar belakang yang lebih kaya atau lebih
terhubung mungkin tidak pernah merasakan perjuangan yang dihadapi oleh mereka
yang berasal dari kalangan bawah. Tetapi mereka tetap bisa mengklaim kesuksesan
mereka semata-mata karena kemampuan pribadi.
Mengatasi
ketidaknyamanan ini memerlukan perubahan mindset yaitu menerima bahwa sukses
bisa merupakan hasil kombinasi antara kemampuan pribadi dan faktor eksternal
seperti privilege. Salah satu langkah untuk menanggulangi denial ini adalah
dengan memberi ruang untuk membahas privilege secara terbuka, baik dalam
konteks pribadi, sosial, maupun profesional.
Ketika orang-orang
mulai berbicara secara terbuka tentang manfaat yang mereka peroleh dari sistem
yang ada mereka bisa mulai memahami bagaimana untuk memperbaiki ketidaksetaraan
ini dan bagaimana untuk menggunakan posisi mereka untuk membawa perubahan
positif.
5. Acknowledging
Privilege for Collective Change
Mengetahui bahwa
privilege itu ada bukan berarti menghancurkan pencapaian seseorang. Sebaliknya
sebagai langkah awal untuk membawa perubahan yang lebih besar.
Dengan mengakui
keberadaan privilege, kita membuka jalan untuk lebih memahami bagaimana
ketidaksetaraan terbentuk dan berlanjut, serta bagaimana kita bisa bekerja
bersama untuk mengubahnya.
Ini adalah tantangan
besar tetapi juga kesempatan besar untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil
di mana setiap orang tidak peduli latar belakangnya memiliki kesempatan yang
sama untuk sukses.
Mengakui privilege
bukan berarti merendahkan kerja keras tetapi lebih kepada menyadari bahwa
beberapa orang mungkin bekerja lebih keras hanya untuk menutupi kesulitan yang
datang dari faktor-faktor luar seperti kemiskinan, diskriminasi, atau
ketidaksetaraan dalam pendidikan dan pekerjaan.
Di sinilah pentingnya
membangun kesadaran kolektif dan solidaritas untuk menciptakan dunia di mana privilege
tidak menjadi penghalang bagi kesempatan yang sama untuk semua.
Jadi meski mengakui
privilege mungkin terasa tidak nyaman dan penuh tantangan, ini adalah langkah
yang perlu kita ambil agar bisa benar-benar memajukan masyarakat yang lebih
inklusif dan adil bagi semua.