Beberapa tahun
terakhir, kesehatan mental jadi topik yang semakin banyak dibicarakan di media
sosial. Sayangnya dalam perjalanan ini banyak yang mulai melihat masalah
kesehatan mental sebagai "alat" untuk mendapatkan perhatian atau
simpati demi meraih lebih banyak engagement.
Ini bukan sekadar
berbagi cerita tentang perjuangan atau mencari dukungan. Tidak sedikit orang
yang, sadar atau tidak, menjadikan gangguan mental mereka sebagai
"konten" demi mendapatkan like, komentar, atau followers.
Pernahkah berpikir
bahwa beberapa cerita tentang kesehatan mental yang kita lihat di beranda media
sosial mungkin lebih dimotivasi oleh keinginan untuk tampil dramatis dan
memancing reaksi, ketimbang keinginan untuk menyuarakan isu yang sebenarnya
sangat serius?
Mari kritisi budaya
ini—di mana kesehatan mental dijadikan senjata untuk meraih popularitas dan
bukan untuk menciptakan kesadaran yang sejati.
Kenapa Itu Bisa
Merusak?
Media sosial seolah
memberikan dorongan untuk orang berbicara lebih terbuka tentang masalah mental
mereka. Dan itu memang bagus bukan? Namun jika tujuan utamanya hanya untuk
mendapatkan perhatian atau validasi, maka kita harus berhenti sejenak dan
berpikir ulang.
Ketika algoritma media
sosial memberikan perhatian lebih pada konten yang melibatkan cerita
dramatis—termasuk masalah kesehatan mental—bukan hal aneh kalau beberapa orang
merasa "terpaksa" untuk memperlihatkan sisi emosional mereka demi
menarik simpati.
Namun di balik semua
itu ada yang lebih penting yang harus diperhatikan, apakah kesehatan mental
kita seharusnya dijadikan komoditas untuk mendapatkan perhatian? Ketika
gangguan mental digunakan hanya untuk mengumpulkan likes atau share, maka makna
sesungguhnya dari perawatan mental dan dukungan terhadap orang yang benar-benar
membutuhkan akan hilang.
Alih-alih memberi
dampak positif, perilaku ini justru berisiko menurunkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya dukungan nyata dalam pemulihan mental.
Mengapa Orang
Menggunakan Kesehatan Mental Sebagai Alat untuk Dikenal?
Media sosial membentuk
sebuah ekosistem di mana konten yang paling banyak dilihat adalah konten yang
bisa membuat orang merasa sesuatu—baik itu rasa kasihan, simpati, atau bahkan
keterkejutan.
Dalam konteks ini,
kesehatan mental sering kali digunakan sebagai alat untuk memicu reaksi yang
kuat. Entah itu dengan memposting tentang kecemasan, depresi, atau bahkan
gangguan lain yang lebih berat, tujuan akhirnya seolah-olah bukan untuk mencari
dukungan, tapi hanya untuk mendapatkan perhatian yang lebih besar.
Kritik di sini
bukanlah untuk mereka yang benar-benar sedang berjuang dengan masalah kesehatan
mental, tetapi pada mereka yang secara sadar memanfaatkan masalah ini hanya
untuk meraih popularitas.
Tak jarang, banyak
orang yang merasa perlu untuk "menjual" kisah mereka agar bisa
dilihat atau didengar di tengah keramaian. Akibatnya bukan hanya narasi tentang
kesehatan mental yang menjadi keliru, tapi juga orang-orang yang benar-benar
membutuhkan bantuan merasa kesulitan untuk mendapatkan perhatian yang pantas
mereka terima.
Menghargai Konten
Berdasarkan Drama, Bukan Solusi
Salah satu masalah
terbesar yang berkontribusi pada fenomena ini adalah bagaimana algoritma media
sosial bekerja. Platform seperti Instagram, TikTok, dan X (dulu Twitter) secara
tidak langsung mendorong penggunanya untuk menghasilkan konten yang paling banyak
mendapatkan reaksi emosional.
Semakin dramatis atau
mengharukan ceritanya, semakin besar kemungkinan untuk viral. Inilah yang
menyebabkan banyak orang mulai berbagi cerita pribadi tentang kesehatan mental
dengan cara yang lebih teatrikal—karena mereka tahu itu akan mendatangkan perhatian.
Sementara itu bagi
mereka yang benar-benar berjuang dengan masalah mental, berbicara tentang hal
ini di media sosial bisa terasa seperti perjudian. Ada rasa takut untuk
dianggap "berpura-pura" atau malah dikritik karena memilih untuk
menunjukkan sisi rapuh mereka. Bahkan ada tekanan untuk melibatkan diri dalam
narasi yang "lebih mengharukan" demi mendapatkan perhatian.
Meredupkan Makna
Sejati dari Kesehatan Mental
Kesehatan mental
bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan. Masalah seperti depresi, kecemasan,
dan gangguan lainnya memengaruhi banyak orang, dan seharusnya, diskusi tentang
ini difokuskan pada edukasi, dukungan, dan pemberdayaan.
Ketika kesehatan
mental dimanfaatkan hanya untuk memicu simpati atau validasi sosial, kita
sebenarnya sedang merendahkan arti sesungguhnya dari isu ini. Tidak hanya itu,
kita juga mengalihkan perhatian dari hal-hal yang benar-benar bisa
membantu—seperti akses yang lebih mudah ke perawatan mental yang profesional
dan dukungan dari keluarga atau teman.
Jika setiap cerita
tentang masalah mental hanya ditujukan untuk mendapatkan likes atau komentar,
bagaimana kita bisa membangun komunitas yang benar-benar peduli dengan
pemulihan mental secara nyata? Alih-alih membahas perawatan atau solusi, yang
sering dibicarakan hanya masalah pribadi tanpa adanya rencana atau langkah ke
depan yang konstruktif.
Kesehatan Mental
Seharusnya Tidak Dijadikan “Barang Dagangan”
Di zaman sekarang, ada
pergeseran yang sangat mencolok seperti kesehatan mental kadang dilihat seperti
barang dagangan. Untuk apa berbagi cerita tentang kecemasan kalau itu tidak
mendatangkan simpati? Untuk apa menunjukkan sisi rapuh jika tidak ada reaksi
yang diinginkan? Ini adalah cara pandang yang salah kaprah.
Seharusnya, media
sosial digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan kesadaran dan memberikan
dukungan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan, bukan untuk memperdagangkan
narasi yang emosional demi angka.
Kesehatan mental bukan
hanya soal cerita atau drama yang bisa menghibur orang lain, tetapi tentang
upaya pemulihan yang membutuhkan dukungan, informasi yang benar, dan perubahan
positif dalam cara masyarakat memandang kesehatan mental.
Bagaimana Mengubah
Cara Pandang Ini?
Satu-satunya cara
untuk mengubah budaya ini adalah dengan kembali ke tujuan awal. Memberikan
dukungan nyata dan membantu orang-orang yang berjuang dengan masalah mental.
Menggunakan platform untuk mendidik, menyebarkan informasi yang bermanfaat, dan
memberikan ruang bagi mereka yang ingin berbicara tentang masalah mental dengan
cara yang sehat dan produktif, adalah langkah yang jauh lebih bijak daripada
hanya berfokus pada jumlah like.
Dibandingkan hanya
memikirkan popularitas, lebih baik berbicara tentang cara-cara yang dapat
membantu mereka yang sedang berjuang. Daripada berbicara tentang seberapa buruk
kondisi mental, mari berbicara tentang bagaimana kita bisa membantu satu sama
lain dan mencari solusi nyata—tanpa harus mengejar perhatian dunia maya.