"You Only Live
Once" atau YOLO telah menjadi prinsip yang diadopsi oleh banyak Gen Z.
Kalimat sederhana ini sering menjadi pembenaran untuk mengambil risiko,
mencoba hal-hal baru, atau menikmati momen tanpa terlalu memikirkan masa
depan. Namun, di balik semangat kebebasan yang diusung oleh YOLO, ada dampak
finansial yang sering kali diabaikan.
Generasi Z, yang
tumbuh di era digital dengan akses ke informasi dan media sosial tanpa batas,
dihadapkan pada tekanan untuk menjalani hidup yang terlihat sempurna. YOLO
menjadi alasan untuk mengejar pengalaman unik, berbagi kebahagiaan di media
sosial, dan memenuhi ekspektasi sosial yang terkadang tidak realistis.
Bagaimana YOLO
Membentuk Pola Pikir Gen Z?
Prinsip YOLO berakar
dari keinginan untuk menjalani hidup sepenuhnya. Tidak ada yang salah dengan
niat ini. Namun, ketika YOLO diterjemahkan sebagai alasan untuk selalu
mengikuti tren, membeli barang mahal, atau mengabaikan perencanaan keuangan,
itu dapat menciptakan tantangan besar.
Banyak Gen Z yang
merasa hidup harus dijalani dengan maksimal sekarang juga. Pikiran seperti
“Besok bisa berbeda, jadi nikmati hari ini” menjadi pembenaran untuk
mengeluarkan uang tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dari gadget terbaru,
pengalaman liburan yang mewah, hingga gaya hidup yang serba premium, semua
dilakukan atas nama YOLO.
Keterkaitan YOLO
dengan Media Sosial
Media sosial memainkan
peran besar dalam memperkuat pola pikir YOLO. Platform seperti Instagram,
TikTok, dan YouTube menampilkan kehidupan yang terlihat sempurna dari para
influencer atau teman sebaya. Momen bahagia, seperti perjalanan ke tempat
eksotis, pakaian terbaru, atau aktivitas unik, sering kali dipamerkan tanpa
menunjukkan realitas di balik layar.
Gen Z yang melihat ini
merasa ada dorongan untuk ikut serta, agar tidak ketinggalan atau dianggap
tidak relevan. Inilah titik di mana konsep YOLO bertemu dengan FOMO (Fear of
Missing Out). Dorongan untuk terus “berada di sana” atau menjadi bagian dari tren
membuat banyak orang mengeluarkan uang tanpa rencana yang matang.
Dampak Finansial
dari Gaya Hidup YOLO
1. Pengeluaran
Tanpa Kontrol
Gaya hidup YOLO sering
kali membuat seseorang lebih fokus pada pengeluaran untuk kesenangan sementara.
Membeli barang mahal, seperti gadget atau pakaian bermerek, sering kali
diprioritaskan dibandingkan kebutuhan esensial. Hal ini menyebabkan anggaran keuangan
yang tidak seimbang.
2. Tabungan yang
Minimal atau Nihil
Ketika pengeluaran
konsumtif menjadi prioritas, tabungan sering kali terabaikan. Dana darurat,
yang seharusnya menjadi penyelamat di situasi tak terduga, tidak pernah
terbentuk. Banyak dari mereka yang akhirnya bergantung pada utang ketika
menghadapi masalah mendesak.
3. Ketergantungan
pada Kredit atau Pinjaman
Untuk membiayai gaya
hidup YOLO, beberapa anggota Gen Z menggunakan kartu kredit atau pinjaman
online. Kemudahan akses ini sering kali menjebak mereka dalam siklus utang yang
sulit diatasi, terutama jika tidak disertai kemampuan membayar yang memadai.
Data Menunjukkan
Dampak Gaya Hidup YOLO
Menurut survei dari
IDN Research Institute, 48% Gen Z di Indonesia menghabiskan lebih dari separuh
pendapatannya untuk kebutuhan sekunder, termasuk hiburan dan gaya hidup.
Sementara itu, hanya 30% dari mereka yang memiliki tabungan atau investasi
aktif.
Selain itu, data dari
Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan bahwa banyak generasi muda yang terjebak
dalam pinjaman ilegal karena ketidaksiapan finansial. Hal ini diperparah oleh
minimnya literasi keuangan, yang membuat mereka tidak menyadari konsekuensi dari
utang berbunga tinggi.
Pelajaran dari
Kehidupan Sehari-hari
Salah satu contoh
nyata dari gaya hidup YOLO adalah cerita seorang mahasiswa yang sering
membelanjakan uang sakunya untuk pengalaman “kekinian.” Ia membeli kopi premium
setiap hari, berlibur ke luar kota setiap bulan, dan selalu mengikuti tren
teknologi terbaru. Pada awalnya, semua terasa menyenangkan. Namun, ketika
tabungan mulai menipis dan utang kartu kredit menumpuk, tekanan mulai muncul.
Cerita lain datang
dari seorang pekerja muda yang memutuskan untuk menggunakan seluruh gajinya
untuk mengikuti tren traveling. Setiap bulan, ia mengunggah foto-foto dari
tempat baru di media sosial, tetapi kenyataannya, ia meminjam uang dari teman
dan aplikasi pinjaman untuk membiayai perjalanan tersebut. Ketika pandemi
melanda, pekerjaan menjadi tidak stabil, dan ia terpaksa menghadapi krisis
finansial yang cukup berat.
Strategi untuk
Mengelola Gaya Hidup YOLO
1. Berikan Nilai
pada Pengalaman yang Sederhana
Menikmati hidup tidak
selalu berarti mengeluarkan banyak uang. Piknik di taman, memasak makanan
favorit di rumah, atau berkumpul dengan teman-teman dekat dapat memberikan
kebahagiaan yang sama tanpa biaya besar.
2. Buat Anggaran
Realistis
Menyusun anggaran
bulanan adalah langkah awal untuk mengelola keuangan. Alokasikan sebagian
pendapatan untuk kebutuhan, sebagian untuk tabungan, dan sisanya untuk hiburan
atau kesenangan.
3. Fokus pada
Tujuan Jangka Panjang
Memiliki tujuan
finansial jangka panjang, seperti membeli rumah atau memulai bisnis, dapat
membantu mengurangi dorongan untuk mengeluarkan uang secara impulsif.
4. Kurangi Paparan
Media Sosial
Membatasi waktu di
media sosial dapat membantu mengurangi tekanan untuk mengikuti gaya hidup
tertentu. Fokus pada kebahagiaan pribadi daripada membandingkan diri dengan
orang lain.
5. Belajar Literasi
Keuangan
Edukasi tentang
pengelolaan keuangan sangat membantu dalam membangun kebiasaan finansial yang
sehat. Membaca buku, mengikuti seminar, atau menggunakan aplikasi keuangan
dapat menjadi langkah awal.