BLANTERVERIONv101
TEMPLATEVERIONv101

Tren Istilah, Aneh atau Penanda Budaya?

Kembang Wae
Image

Gen Z, generasi yang hidup berdampingan dengan teknologi dan media sosial, sering kali menciptakan istilah baru yang kemudian menyebar dengan cepat. Istilah-istilah seperti “gasken,” “healing,” “simp,” dan “bestie” muncul sebagai bagian dari cara mereka berkomunikasi. Namun, bagi banyak orang di luar lingkaran Gen Z, istilah-istilah ini bisa terdengar membingungkan, bahkan aneh. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa bahasa gaul ini lebih banyak membawa kerumitan daripada kejelasan dalam komunikasi sehari-hari.

Faktanya, menurut survei dari Pew Research, hampir 60% pengguna internet yang lebih tua menganggap bahasa gaul Gen Z sulit dipahami, sementara 30% merasa bahasa ini tidak perlu dan berlebihan. Apakah bahasa gaul ini benar-benar mencerminkan kreativitas dan identitas Gen Z, atau justru memperumit komunikasi di era yang seharusnya lebih terbuka?

Bahasa Gaul yang Muncul Tanpa Konteks Jelas

Salah satu kritik utama terhadap bahasa gaul Gen Z adalah bahwa istilah-istilah ini sering kali muncul tanpa konteks atau asal-usul yang jelas. Misalnya, kata “gasken” yang berarti “ayo, kita lakukan” atau “bestie” yang merujuk pada teman dekat, tampaknya hanya relevan di kalangan Gen Z sendiri. Jika seseorang di luar generasi ini mendengar istilah tersebut, mereka mungkin harus mengandalkan tebakan atau penjelasan tambahan agar bisa memahami arti sebenarnya.

Di media sosial, istilah seperti ini dapat dengan cepat mengalir ke komentar dan caption, menciptakan bahasa yang eksklusif. Ini bisa dianggap menghalangi komunikasi dengan generasi lain yang tidak memahami istilah-istilah tersebut. Banyak yang melihat tren ini sebagai hambatan daripada alat yang mempermudah komunikasi.

Perubahan Nilai Bahasa dan Kehilangan Kejelasan

Jika tujuan bahasa adalah menyampaikan pesan dengan jelas, banyak bahasa gaul Gen Z justru menciptakan kebingungan. Ambil contoh kata “simp,” yang merujuk pada seseorang yang terlalu memuja orang lain. Meski populer, istilah ini juga membawa konotasi negatif dan sering kali dipakai sebagai ejekan. Penggunaan istilah ini telah memicu perdebatan tentang apa yang dianggap pantas atau tidak dalam hubungan sosial, mencerminkan pandangan yang cenderung menyederhanakan perasaan dan ketulusan menjadi lelucon atau label negatif.

Di sisi lain, istilah “healing” yang sering diartikan sebagai proses penyembuhan, telah berubah menjadi bahasa gaul untuk aktivitas rekreasi. Kata ini, yang seharusnya memiliki makna mendalam, malah dipakai untuk merujuk pada hal-hal yang dangkal, seperti minum kopi di kafe atau berlibur. Akibatnya, makna asli dari “healing” bisa memudar dan terasa kehilangan nilai yang sebenarnya, membuat banyak orang mempertanyakan seberapa serius generasi ini memahami konsep kesehatan mental.

Mengapa Bahasa Gaul Gen Z Bisa Berdampak Negatif pada Komunikasi

Bahasa gaul Gen Z sering kali bersifat eksklusif dan membatasi interaksi dengan generasi lain. Di tempat kerja atau di lingkungan sosial, istilah-istilah ini bisa menjadi penghalang. Generasi yang lebih tua sering kali kebingungan, bahkan merasa diasingkan, karena harus terus mengejar tren bahasa yang cepat berubah dan terkesan kurang substansial.

Sebagai contoh, dalam lingkungan profesional, penggunaan bahasa gaul yang terlalu kental bisa memunculkan kesan kurang serius. Ketika istilah “gasken” atau “bestie” digunakan dalam komunikasi bisnis atau tugas profesional, hal ini bisa memberikan kesan kurang formal atau bahkan menurunkan kredibilitas. Di dunia nyata, terlalu banyak menggunakan bahasa gaul bisa menciptakan persepsi bahwa seseorang kurang serius dalam bekerja atau berkomunikasi, yang tentu bisa berdampak negatif pada reputasi mereka di tempat kerja.

Media Sosial dan Kebutuhan untuk Terlihat "Kekinian"

Di balik bahasa gaul ini, ada tekanan besar di kalangan Gen Z untuk selalu terlihat “kekinian.” Media sosial, yang menjadi tempat utama penyebaran bahasa gaul, mendorong generasi ini untuk terus menciptakan dan menggunakan istilah baru agar bisa menonjol. Di TikTok, misalnya, setiap tren bahasa yang viral cenderung disambut dengan cepat oleh Gen Z, yang ingin menunjukkan bahwa mereka “terhubung” dengan budaya terbaru.

Namun, dampak negatifnya adalah terciptanya tekanan untuk selalu mengikuti tren, bahkan jika tren tersebut kurang relevan atau bermakna. Pada akhirnya, bahasa gaul menjadi lebih seperti gimmick daripada alat komunikasi yang efektif. Alih-alih menjadi bentuk ekspresi diri, istilah-istilah ini kadang dianggap hanya sebagai upaya untuk mendapatkan validasi sosial.

Refleksi: Mencari Keseimbangan dalam Bahasa

Menggunakan bahasa gaul tentu tidak salah; setiap generasi memiliki bahasa khasnya masing-masing. Namun, jika bahasa yang digunakan terlalu berlebihan dan mengurangi makna atau kejelasan, maka komunikasi akan semakin sulit dan berisiko menciptakan jarak antar generasi. Dalam konteks ini, Gen Z diharapkan dapat mempertimbangkan dampak jangka panjang dari bahasa gaul yang mereka ciptakan.

Bahasa, sebagai alat komunikasi universal, sebaiknya memiliki keseimbangan antara kreativitas dan kejelasan. Dengan berkomunikasi secara lebih inklusif dan mempertimbangkan keberagaman audiens, Gen Z bisa tetap menunjukkan identitas dan kreativitas mereka tanpa harus mengorbankan kejelasan komunikasi.

Jika bahasa terus menjadi alat eksklusif dan tren tanpa nilai yang jelas, maka ada kemungkinan bahwa istilah-istilah ini akan kehilangan relevansi seiring waktu. Di sisi lain, istilah yang diadopsi dengan penuh makna dan konteks dapat menjadi bagian dari budaya yang lebih permanen dan berguna bagi komunikasi antar generasi.

Image
Image

Comments

BLANTERVERIONv101