Siapa yang tidak tergoda oleh tren terbaru? Di zaman serba digital ini, kita disuguhkan beragam gaya hidup, ide, dan standar kesuksesan yang terlihat sempurna di layar.
Berkat
media sosial, apa yang dulu dianggap "berlebihan" kini menjadi "harus"
bagi sebagian orang. Sayangnya, ini memunculkan fenomena baru: standar hidup
yang ditentukan oleh apa yang kita lihat di sosial media, bukan oleh kebutuhan
atau realitas kondisi pribadi.
Mengikuti atau
Menjadi Pengikut?
Mungkin kita pernah melihat seseorang yang mendadak ikut diet mahal atau membeli gadget terbaru hanya karena viral, bukan karena kebutuhan. Hal ini sering kali diawali dari dorongan untuk merasa tidak ketinggalan, dikenal dengan istilah fear of missing out (FOMO).
Meski kadang tak disadari, FOMO bisa membuat seseorang
mudah diarahkan, sehingga perilaku dan keputusan hidupnya dikendalikan oleh
tren yang mungkin sebenarnya tidak relevan.
Perusahaan, selebriti,
hingga influencer kerap memanfaatkan situasi ini. Melalui iklan atau konten
yang terlihat personal, mereka menanamkan ide bahwa untuk "bahagia"
atau "berhasil," kita harus mengikuti langkah mereka. Padahal, kebahagiaan
tidak bisa diukur dari barang atau gaya hidup yang terus diperbarui mengikuti
tren.
Hidup Berdasarkan
“Standar Viral” dan Konsekuensinya
Ketika standar hidup seseorang diukur dari apa yang viral, konsekuensi jangka panjang bisa mempengaruhi mental dan finansial. Banyak yang rela mengorbankan kenyamanan finansial demi membeli barang atau mengikuti gaya hidup tertentu.
Secara
psikologis, ini juga bisa menyebabkan perasaan rendah diri dan kecemasan,
karena merasa “tidak cukup” hanya karena hidupnya tidak selaras dengan feed
media sosial orang lain.
Yang jarang disadari,
para influencer dan selebriti yang kerap mengunggah gaya hidup mewah sering
kali telah disponsori, sehingga tampak lebih terjangkau dan mudah diakses.
Masyarakat yang melihat hal ini lalu terpicu untuk berusaha keras mengejar
standar tersebut, tanpa mengetahui realitas di baliknya.
Realitas Hidup:
Antara Kebutuhan dan Keinginan
Berpikir realistis
adalah kunci untuk menghindari jebakan tren. Memahami perbedaan antara
kebutuhan dan keinginan bisa menjadi langkah awal. Tanyakan pada diri sendiri,
apakah mengikuti tren ini benar-benar perlu? Ataukah ini hanya hasrat sementara
yang dipengaruhi oleh media sosial?
Mulai dengan menilai
prioritas yang sesuai dengan situasi pribadi. Sering kali, yang terlihat
menarik di sosial media hanyalah kulit luar dari kehidupan seseorang. Tidak
perlu mengadopsi semua tren untuk merasa "cukup" atau
"bahagia."
Menemukan Kepuasan
yang Sejati
Dengan kembali kepada
kebutuhan asli dan nilai pribadi, seseorang bisa menemukan cara hidup yang
lebih memuaskan. Fokuslah pada kualitas hidup yang dirasakan, bukan yang
dipertontonkan. Terkadang, hidup sederhana yang konsisten jauh lebih
membahagiakan dibandingkan terus-menerus mengejar standar yang tidak pernah
cukup.
Kesimpulannya, jangan
biarkan media sosial menjadi tolak ukur utama. Kebutuhan, kebahagiaan, dan
kesuksesan memiliki definisinya masing-masing bagi setiap orang. Tetaplah
berpijak pada kenyataan dan temukan cara hidup yang benar-benar sesuai, bukan
yang hanya terlihat indah di layar.