Fenomena "sadbor" pada platform TikTok semakin viral, menarik perhatian banyak orang dan menimbulkan pro dan kontra. Sadbor, yang merupakan kependekan dari "sad begging for rewards," adalah aksi di mana seseorang tampil di live streaming dengan ekspresi murung atau terkesan menyedihkan, meminta hadiah atau dukungan dari para penontonnya. Praktik ini bukan hanya sekadar mencari popularitas, namun memiliki efek negatif yang perlu diperhatikan, khususnya dalam hal membentuk mentalitas mengemis secara digital.
1. Mendorong
Mentalitas "Mengemis" Secara Halus
Sadbor mengemas
perilaku mengemis dalam format yang berbeda. Dengan menampilkan kesedihan atau
kesulitan, konten kreator sadbor berharap menarik simpati dari penonton yang
kemudian memberikan hadiah dalam bentuk virtual gifts. Penggunaan emosi ini
berisiko membentuk pola pikir pasif di kalangan pengguna media sosial,
khususnya bagi remaja yang rentan meniru apa yang dianggap "populer."
Alih-alih menumbuhkan
pola pikir mandiri dan kreatif, sadbor dapat mengajarkan cara-cara instan untuk
mendapatkan apa yang diinginkan tanpa harus berusaha keras.
2. Menggiring
Audiens ke Lingkaran "Kebiasaan Mengemis"
Sadbor bisa memancing
audiens untuk mengulangi kebiasaan memberikan hadiah virtual dalam kondisi yang
sebenarnya tidak terlalu memerlukan bantuan. Praktik ini secara tidak langsung
mengaburkan batas antara memberikan donasi yang tulus dan sekadar melanggengkan
"kebiasaan mengemis." Ketika ini terus berlangsung, baik kreator
maupun penonton berisiko terjebak dalam lingkaran saling tergantung, di mana
keduanya merasa mendapatkan manfaat dari pola ini.
Di sisi kreator,
semakin banyak hadiah yang didapat, semakin besar motivasi untuk terus
melakukan sadbor. Sementara di sisi penonton, ada kepuasan emosional tertentu
saat merasa “membantu,” meskipun tujuan pemberian tersebut sebenarnya tidak
begitu jelas.
3. Mempengaruhi
Nilai-Nilai Usaha dan Produktivitas
Kebiasaan meminta
hadiah dengan cara sadbor menanamkan kesan bahwa kesuksesan dan dukungan bisa
datang tanpa harus berusaha. Hal ini berisiko merusak nilai usaha dan
produktivitas, terutama bagi pengguna muda yang sedang membentuk karakter dan
cara pandang mereka terhadap pekerjaan dan hidup. Alih-alih terinspirasi untuk
menciptakan konten kreatif atau mengembangkan keterampilan, banyak yang justru
terjebak dalam cara berpikir instan.
Sadbor juga bisa
merusak etos kerja di kalangan penonton, yang akhirnya melihat hadiah sebagai
bentuk penghargaan atas "kesedihan," bukan atas usaha atau pencapaian
nyata. Ini menggeser makna penghargaan dari sesuatu yang berharga ke sesuatu yang
mudah diperoleh dengan taktik emosional.
4. Potensi
Menurunkan Kualitas Konten di Media Sosial
Dengan semakin
banyaknya kreator yang melakukan sadbor demi menarik penonton, kualitas konten
di media sosial berpotensi menurun. Alih-alih menampilkan konten yang
informatif, inspiratif, atau menghibur, fokus beralih ke konten yang
memanfaatkan sisi emosional penonton. Akibatnya, penonton tidak hanya
menghabiskan waktu pada konten yang minim nilai, tetapi juga kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan informasi atau hiburan yang lebih berkualitas.
5. Mendorong Budaya
“Mengemis Digital” di Kalangan Generasi Muda
Fenomena sadbor mencerminkan budaya baru yang disebut sebagai “mengemis digital.” Dalam konteks ini, mengemis tidak lagi dilakukan di jalanan, melainkan di layar ponsel. Dengan berbekal koneksi internet, siapapun kini bisa mempraktikkan gaya mengemis versi modern ini, yang meski terlihat berbeda dari mengemis konvensional, namun tetap menanamkan kebiasaan yang sama: memperoleh sesuatu tanpa memberikan timbal balik yang jelas.
Generasi muda yang terpapar fenomena ini berisiko menyerap perilaku yang kurang ideal bagi perkembangan karakter mereka. Mengemis digital seperti sadbor memberi pesan bahwa “kesedihan” adalah alat untuk mencapai tujuan, suatu hal yang dapat mengikis rasa percaya diri serta kemampuan mengatasi tantangan secara mandiri.