Dalam beberapa tahun
terakhir, rasa kesepian telah menjadi isu yang mendalam di kalangan generasi
muda, bahkan di tengah konektivitas digital. Fenomena yang dikenal sebagai
“epidermis of loneliness” atau “lapisan kesepian” ini terjadi ketika individu
merasakan perasaan kesepian yang dalam, meski secara fisik atau virtual mereka
terhubung dengan banyak orang. Saat ini, banyak dari mereka yang merasa sulit
menemukan teman dekat atau orang untuk berbagi cerita secara mendalam. Survei
dan data terbaru juga menunjukkan bahwa generasi muda semakin merasa terisolasi
secara emosional.
Data Kesepian di
Kalangan Generasi Muda
Menurut studi dari
American Psychological Association, sekitar 63% dari kaum muda berusia 18
hingga 25 tahun melaporkan merasa kesepian secara signifikan. Angka ini
meningkat selama beberapa tahun terakhir, terutama sejak pandemi. Data dari
survei lain yang dilakukan oleh Cigna pada tahun 2020 juga mengungkapkan bahwa
61% orang dewasa merasa kesepian, dengan tingkat tertinggi ditemukan di
kalangan generasi muda. Di media sosial, banyak pengguna muda mengungkapkan
perasaan serupa, berbagi pengalaman tentang kesulitan menemukan pertemanan yang
tulus.
Para ahli
mengungkapkan bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah pergeseran hubungan
dari tatap muka ke interaksi digital yang dangkal. Generasi muda sering merasa
“berteman” dalam jumlah besar secara online, tetapi koneksi ini tidak selalu
memberikan kedalaman emosional yang diperlukan untuk mengatasi perasaan
kesepian. Perbedaan antara keakraban virtual dan keakraban fisik menjadi
penghalang yang kian terasa, terutama di dunia yang penuh tekanan sosial.
Self-Stigma dan
Rasa Diadili dalam Kehidupan Sosial
Generasi muda juga
kerap terjebak dalam “self-stigma,” perasaan seolah-olah diri mereka
terus-menerus dinilai atau dihakimi oleh orang lain. Hal ini berakar dari
tekanan sosial yang mendorong mereka untuk tampil “sempurna” di media sosial.
Di Instagram, Twitter, dan platform lain, banyak anak muda merasa perlu
menampilkan versi terbaik dari diri mereka — mulai dari tampilan fisik hingga
pencapaian pribadi. Rasa khawatir akan pandangan orang lain ini, terutama
ketika berinteraksi online, bisa membuat mereka merasa lebih dihakimi daripada
didukung.
Sebagai contoh, sebuah
penelitian yang dipublikasikan di Journal of Youth Studies menemukan
bahwa sekitar 70% anak muda merasa bahwa media sosial memberikan tekanan untuk
tampil sempurna. Situasi ini menyebabkan mereka sering menahan diri dari
berbagi perasaan yang lebih mendalam, sehingga mereka terjebak dalam lapisan
kesepian yang menahan mereka untuk menjalin hubungan yang jujur dan otentik.
Dampak Media Sosial
Terhadap Rasa Kesepian
Meskipun media sosial
seharusnya menghubungkan, banyak anak muda justru merasakan sebaliknya. Menurut
studi dari University of Pennsylvania, semakin sering seseorang menggunakan
media sosial, semakin tinggi risiko mereka untuk merasa kesepian. Bahkan, setelah
mengurangi waktu penggunaan media sosial selama beberapa minggu, peserta studi
melaporkan penurunan rasa kesepian dan depresi secara signifikan.
Kesimpulannya, media sosial sering kali menciptakan ilusi kedekatan tanpa
keintiman yang sebenarnya.
Di media sosial,
banyak diskusi terkait "digital loneliness" atau kesepian digital, di
mana orang merasa “dekat” tapi hanya dalam artian virtual. Ungkapan “close
friends list” atau “best friends” di Instagram dan Snapchat sering hanya
menjadi simbol, bukan cerminan dari hubungan yang mendalam. Generasi muda mulai
merasakan perbedaan besar antara jumlah pengikut yang besar dan teman yang
benar-benar bisa diandalkan.
Upaya Mengatasi
Kesepian dengan Membangun Hubungan Nyata
Menjalin pertemanan
yang nyata dan saling mendukung adalah cara efektif untuk melawan epidermis of
loneliness ini. Berdasarkan survei dari Mental Health Foundation, sekitar 84%
orang merasa lebih bahagia setelah menghabiskan waktu dengan teman dekat. Anak
muda dapat mencoba keluar dari zona nyaman untuk mencari kelompok atau
komunitas yang sesuai dengan minat mereka, dari kelas kreatif hingga kegiatan
sosial.
Di media sosial,
beberapa komunitas bahkan mulai mendorong tren untuk lebih terbuka dan
autentik. Banyak influencer dan figur publik muda yang sekarang berbicara
tentang pentingnya kejujuran emosional dan membangun hubungan yang sehat.
Mereka mendorong pengikut untuk berani berbagi cerita dan tidak takut
menunjukkan kerentanan, sehingga koneksi sosial yang terbentuk dapat lebih
bermakna.
Mengelola Media
Sosial dengan Lebih Bijak
Media sosial dapat
menjadi pedang bermata dua: memberi koneksi tapi bisa juga membuat kesepian
jika digunakan berlebihan. Mengatur waktu di media sosial dan berfokus pada
kualitas interaksi, bukan kuantitas, adalah salah satu solusi yang disarankan
banyak pakar kesehatan mental. Platform seperti Instagram dan TikTok mulai
memperkenalkan fitur seperti “well-being reminders” atau pengingat untuk
istirahat sejenak. Ini diharapkan bisa membantu pengguna lebih sadar akan
dampak emosional dari aktivitas online mereka.
Di tengah dunia yang serba digital, perasaan
kesepian mungkin tidak sepenuhnya bisa dihindari. Namun, dengan upaya untuk
membangun hubungan yang lebih jujur dan bijak dalam menggunakan teknologi,
generasi muda dapat mengurangi efek dari “epidermis of loneliness” ini, membuka
peluang untuk menemukan teman yang tak hanya hadir secara fisik, tetapi juga
mengisi hati dan pikiran mereka dengan dukungan yang tulus.