Banyak yang menganggap krisis hidup hanya
terjadi di usia paruh baya. Berbeda dengan Generasi Z, life quarter crisis adalah
fenomena nyata yang kian sering dialami oleh mereka di usia 20-an hingga awal
30-an.
Life quarter crisis bukan sekadar fase biasa.
Ini adalah salah satu tanda bahwa tekanan yang dihadapi generasi Z lebih besar
daripada yang pernah kita bayangkan. Media sosial, karier yang tidak pasti,
serta ekspektasi untuk mencapai kesuksesan di usia muda membuat fase ini lebih
menantang dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Salah satu aspek utama yang memperburuk krisis
ini adalah pengaruh media sosial. Dari hari ke hari, kita dibombardir oleh
unggahan tentang pencapaian orang lain, mulai dari promosi karier hingga
liburan mewah.
Generasi Z yang tumbuh dengan smartphone di
tangan, cenderung membandingkan kehidupan mereka dengan standar kesempurnaan
yang ditampilkan di media sosial. Media sosial telah menciptakan ilusi bahwa
kesuksesan harus dicapai secepat mungkin, padahal setiap orang memiliki jalur
yang berbeda. Akibatnya, banyak dari kita merasa tertinggal dan gagal hanya
karena hidup kita tidak seindah apa yang kita lihat di layar.
Lebih jauh lagi ketidakpastian karier menjadi
faktor signifikan yang memicu krisis ini. Generasi sebelumnya mungkin memiliki
jalur karier yang lebih jelas dan terstruktur. Namun, bagi Gen Z, jalan menuju
kesuksesan terasa lebih berliku dan penuh ketidakpastian.
Dunia kerja yang terus berubah membuat gen z merasa
cemas apakah pilihan karier mereka akan tetap relevan di masa depan. Ada
ketakutan bahwa apa yang mereka pelajari hari ini bisa usang dalam hitungan
tahun. Di sinilah letak dilema besar, memilih pekerjaan yang mereka cintai atau
pekerjaan yang menawarkan stabilitas jangka panjang.
Selain itu, krisis identitas juga jadi salah
satu tantangan terbesar bagi Gen Z. Kita hidup di zaman di mana pilihan tak
terbatas, namun justru pilihan yang terlalu banyak ini bisa membingungkan.
Generasi Z kerap kali merasa terjebak antara
mengejar passion atau memenuhi harapan sosial yang lebih tradisional. Hal ini
sering membuat mereka merasa kehilangan arah dan bingung dalam menentukan siapa
diri mereka sebenarnya. Krisis identitas ini adalah refleksi dari tekanan
internal dan eksternal yang dihadapi oleh generasi ini.
Faktor lain yang turut berperan adalah tekanan
untuk berprestasi di usia muda. Di zaman di mana pencapaian cepat menjadi
standar, generasi Z merasa bahwa mereka harus sukses sebelum usia 30 tahun.
Tekanan ini adalah hasil dari obsesi
masyarakat terhadap kecepatan dan hasil instan, yang sebenarnya tidak
realistis. Kesuksesan tidak harus datang cepat, dan hidup bukanlah perlombaan.
Namun, banyak yang terjebak dalam persepsi
ini, merasa gagal jika belum mencapai target-target besar di usia yang relatif
muda.
Namun, life quarter crisis tidak harus menjadi
sesuatu yang mematikan semangat. Bahwa ada cara untuk menghadapinya dengan
bijak. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kesadaran diri dan menerima
bahwa hidup tidak harus selalu sesuai dengan harapan orang lain.
Fleksibilitas dalam menghadapi perubahan dan
kemauan untuk mencari dukungan juga sangat penting. Dengan memanfaatkan krisis
ini sebagai momen refleksi, Generasi Z dapat menemukan arah baru yang lebih
sesuai dengan diri mereka, bukan hanya sekadar mengejar apa yang diharapkan
oleh masyarakat.
Life quarter crisis bukan akhir dari segalanya,
ini adalah bagian dari perjalanan untuk menemukan makna yang sejati dalam
hidup.