Seteguk
kopi terakhir. Kusesap begitu dalam. Hambar, tanpa ada setetespun rasa manis di
dalamnya. Seperti aku yang kini membeku bisu. Tanpa bisa tahu mengapa kau
tiba-tiba pergi tanpa aba-aba. Dasar cangkir memantulkan wajahku dari sisa-sisa
genangan. Memberiku ingatan, bahwa bukan dikau yang melenggang pergi. Namun aku
yang memilih sembunyi.
Dua sendok ampas kopi yang terendap.
Mengatakan jika sisa-sisa rasa darimu masih tercetak jelas di dasar hatiku.
Cukuplah rasa pahit kopi ini memberiku pelajaran. Bahwa bukan hanya dirimu yang
mampu menghasilkan rasa sepahit ini. Juga sesakit ini.
Bukan
cuma dirimu yang bisa menjauh pergi. Akupun mampu untuk benar-benar
mengacuhkanmu. Pergi, tanpa menengok sedikitpun ke arahmu. Akupun bisa tega
menghunus dadamu dengan sebilah pedang. Melukaimu dengan sengaja dihadapanku.
Ah,
menggali tentangmu yang kian redup dari hidupku. Satu malam saja patut untuk
kutuntaskan. Tak perlu lagi aku beralasan atas dasar kau dari masalaluku.
Mengais memori membuatku tersiksa dengan kenangan sisa-sisa akan dirimu yang
menusukku.
Purworejo, 22 Juni 2019