“Jodoh gak bakal kemana. Tapi kalau gak
kemana-mana gak bakal dapet jodoh.” Sepenggal kalimat itu terngiang terus
dikepala. Mengira-ngira siapa, bagaimana dan seperti apa nanti seseorang yang
akan menjadi imam dalam kehidupanku. Semakin dipikirkan semakin takut aku
melangkah dalam jenjang pernikahan.
“Bagaimana jika nanti tak sesuai dengan
harapanku ? Bagaimana nanti jika ternyata apa yang aku impikan selama ini jauh
dari kata ada dalam sebuah pernikahan? Bagaimana jika aku salah pilih suami ?
Bagaima__” Batinku masih saja bertanya.
“Nduk, besok berangkat kan ?” Suara emak
memotong semua kecamuk dalam otakku.
“Belum tahu mak. Maunya si mending di rumah
aja.”
“Halah nduk-nduk. Move on nduk. Mo Ve On.”
Ucap emak meledek dengan sengaja mengeja kata move on. Aku hanya terperingis
menatapnya.
“Wah,
pengantinnya cantik ya. Yang cowok juga ganteng.” Bisik-bisik terdengar
disana-sini. Aku terdiam menatap sepasang manusia yang tengah menjadi raja dan
ratu hari ini. Sungguh mereka terlihat sangat bahagia sekali. Aku pun ingin
merasakannya juga.
“Lalu kenapa acara sakral seperti ini
justru jadi ajang pencarian jodoh si !” gerutuku kesal saat melihat segerombolan
cowok dan cewek tengah saling curi-curi pandang. Sebab ini lah aku malas
menghadiri acara pernikahan. Kalau kata beberapa orang “Kondangan sekalian cari
gandengan.”. Kau pikir ini biro jodoh.
Tanpa kusadari aku menelan ludahku sendiri.
Mataku menyapu setiap sudut tempat. Mencari seonggok daging bernyawa diantara
ratusan orang namun tak kutemukan. Untuk apa juga aku berharap dia muncul
setelah apa yang terjadi.
“maaf mbak. Maaf.” Seseorang menabrakkan
diri padaku. Pencarianku pun terhenti tatkala secara tiba-tiba jantungku
berdebar kencang. “Apa ini ? Siapa ? Tidak mungkin dia.” Gumamku dengan
menoleh. Namun tak kutemukan siapa pelakunya.
“Nduk. Hari ini berangkat kan ?” Emak
lagi-lagi bertanya. Memastikan jika diriku akan pergi dalam suatu acara
perkenalan antar muda-mudi. Anggap saja seperti perjodohan sukarela dimana
wanita dijajakan didepan pria. Aku hanya menganggukan kepala menjawab
pertanyaan emak. Sengaja saja aku poles
wajahku dengan sepolos mungkin. Masih berpegang teguh pada prinsip bahwa
jodohku akan kucari sendiri tanpa melalui acara kuno seperti perkenalan
muda-mudi.
Setiba diacara, masih saja sama. Aku
menutup siapa saja yang akan masuk. Bahkan hanya untuk perkenalan lebih dalam
saja kupalingkan wajah secara mentah-mentah. Beberapa beranggapkan aku adalah
wanita ketus dan sombong yang tak tahu sopan santun. Tapi terserah lah, aku
hanya mencoba melindungi hati dari harapan yang pada akhirnya membuat
tersakiti.
Adzan dhuhur berkumandang. Menyudahi
basa-basi basi yang membuatku enggan membuka diri. Sholat ditunaikan seperti
biasa empat rakaat dengan dua tahiyat. Dan ketika al-fatihah terucap dalam satu
rakaat terakhir. Badanku lemas seketika. Dadaku terasa sesak. Degupnya tak lagi
main-main. Sholatku buyar. Bacaan rancu sudah tercampur dengan istigfar.
Rasa ingin segera menyudahi sholat dan
menengok kedepan kuurungkan dengan meneguhkan iman. Sabar-sabar dengan istigfar
saja kulakukan. Tepat setelah salam, perhatianku terpaku pada sosok yang tengah
berdiri menyesaikan sholatnya. Seseorang yang membuatku mati lemas dengan
mengirimkan rasa yang tak pernah bisa kupahami sedari dulu.
Ku angkat saja dua telapak tangan. Mencoba
menengadah meminta pada Yang kuasa. Doa ku tak pernah sedalam itu saat aku
meminta. Hanya meminta sepatah-patah kata dan bertanya mengapa kau beri rasa
jika pada akhirnya kau jatuhkan aku dengan tanpa harapan. Aku sadar diri siapa
laki-laki yang tengah aku sebutkan dalam doa. Sebuah bulan yang sulit digapai
untuk pungguk seperti diriku. Aku sadar diri dalam cinta dan tak banyak meminta
tentang dia.
Saat
kuusap telapak tangan pada wajahku. Mata kita bertemu. Aku dan dia si bulan.
Beberapa saat terpaku saling tatap. Tentunya dengan hati yang tak bisa diajak
berkompromi. Seenaknya memacu jantung untuk lebih berkerja keras dalam menahan
debaran. Segera saja ku hentikan dengan kabur dari tempatku duduk dan tak lagi
berani kembali.
“Gimana nduk ? ada yang nyantol satu ?”
tanya emak . Aku yang baru saja menapakkan langkah pertamaku di depan pintu
hanya mengulum senyum sambil menggeleng.
“Terus dapet apa disana ?”
Aku berpikir keras untuk menjawab. Sebab
jika belum diceritakan apa yang terjadi saat acara muda-mudi barang sedikitpun
emak tidak akan berhenti bertanya.
“Tadi to Mak, ada cowok yang bikin aku
deg-deg an. Orangnya soleh. Ganteng lagi.” Ocehku pada emak.
“Lha bagus. Jadi kamu bisa move on sama
yang satunya. Siapa dia ?”
“Enggak ah mak, aku masih mau nunggu aja.
Toh aku gk pantes buat dia.”
“Lho belum perang kok sudah mundur. Mau nunggu sampai kapan ? Ini udah dua tahun
lebih tanpa kepastian lho. Dan sekarang orangnya malah ngilang.”
Aku terdiam mendengar ucapan emak. Seakan
ditampar realita untuk sadar.
Satu minggu setelah ditampar emak. Sebuah
pesan mendarat. Mengabari jika penantianku selama ini akan berbuahkan hasil.
Seseorang yang disuruh emak untuk dilupakan. Seseorang yang menghilang tanpa
kepastian. Seseorang yang kucari-cari setiap kali ada kesempatan. Saat ini
berkata bahwa ia meminta maaf telah menyakitiku dengan pergi meninggalkan
sejuta pertanyaan tanpa bisa ia jelaskan.
Aku hanya terdiam mendengarkan suara yang
keluar dari benda yang ku genggam. Layarnya menampilkan detik berjalan
menunjukan berapa lama kita sudah
berbincang.
“Mas, terlambat.”Ucapku memotong
penjelasannya. Kemudian hanya sunyi yang terdengar.
Benar. Terlambat. Karena disaat yang
bersamaan seseorang telah datang ke rumah. Memintaku untuk menjawab niat
baiknya meminang diriku.
Aku bersimpuh diatas sajadah. Tangan
mengadah bibir bergumam pelan. Berkata “Tuhan, Bagaimana bisa kau menyuruh dua
hati untuk menginggahi diriku ? Manakah yang harus aku suguhkan hati ? Dan
manakah yang hanya kopi ?”
Kata-kataku tercekat. Bayangan akan mereka
terlihat jelas. Sang rembulan yang datang membawa lamaran atau si pemilik janji
yang kini kembali untuk menepati ? Aku dihadapkan pada pilihan yang membuatku
frustasi. Hati tak bisa lagi kupercayai. Aku mencintai pemilik janji, tapi
mengapa sedari dulu hati ini selalu berdebar saat bertemu sang rembulan ? Lalu
dengan bersamaan mereka datang.
“Tuhan, beri petunjuk untukku memperjelas
rasa ini. Aku tak ingin pilihanku kelak mempengaruhi diriku. Rasa penyesalan
atas menjatuhkan pilihan. Netralkan semua. Jangan sampai setelah bersuami aku masih menyangkutkan hati
pada orang lain. Beri aku cara agar dapat membedakan mana obsesi dan mana kata
hati.” Pintaku bersungguh.
“Tuhan, aku tidak akan meminta siapa
menjadi siapa dalam hidupku. Sudah lelah aku memaksamu melakukan itu. Hanya
saja bantu aku menetapkan satu dalam pilihanku.”
Dalam sepertiga malam itu hanya aku dan
DiriNya berbincang. Pengajuan negosiasi masih belum dilobi. Hasilnya ? Tentu
Dialah yang menuntunku memilih rasa.