BLANTERVERIONv101
TEMPLATEVERIONv101

Diksi Rasa

Kembang Wae
Image

 



“Jodoh gak bakal kemana. Tapi kalau gak kemana-mana gak bakal dapet jodoh.” Sepenggal kalimat itu terngiang terus dikepala. Mengira-ngira siapa, bagaimana dan seperti apa nanti seseorang yang akan menjadi imam dalam kehidupanku. Semakin dipikirkan semakin takut aku melangkah dalam jenjang pernikahan.

“Bagaimana jika nanti tak sesuai dengan harapanku ? Bagaimana nanti jika ternyata apa yang aku impikan selama ini jauh dari kata ada dalam sebuah pernikahan? Bagaimana jika aku salah pilih suami ? Bagaima__” Batinku masih saja bertanya.

“Nduk, besok berangkat kan ?” Suara emak memotong semua kecamuk dalam otakku.

“Belum tahu mak. Maunya si mending di rumah aja.”

“Halah nduk-nduk. Move on nduk. Mo Ve On.” Ucap emak meledek dengan sengaja mengeja kata move on. Aku hanya terperingis menatapnya.

 

 “Wah, pengantinnya cantik ya. Yang cowok juga ganteng.” Bisik-bisik terdengar disana-sini. Aku terdiam menatap sepasang manusia yang tengah menjadi raja dan ratu hari ini. Sungguh mereka terlihat sangat bahagia sekali. Aku pun ingin merasakannya juga.

“Lalu kenapa acara sakral seperti ini justru jadi ajang pencarian jodoh si !” gerutuku kesal saat melihat segerombolan cowok dan cewek tengah saling curi-curi pandang. Sebab ini lah aku malas menghadiri acara pernikahan. Kalau kata beberapa orang “Kondangan sekalian cari gandengan.”. Kau pikir ini biro jodoh.

Tanpa kusadari aku menelan ludahku sendiri. Mataku menyapu setiap sudut tempat. Mencari seonggok daging bernyawa diantara ratusan orang namun tak kutemukan. Untuk apa juga aku berharap dia muncul setelah apa yang terjadi.

“maaf mbak. Maaf.” Seseorang menabrakkan diri padaku. Pencarianku pun terhenti tatkala secara tiba-tiba jantungku berdebar kencang. “Apa ini ? Siapa ? Tidak mungkin dia.” Gumamku dengan menoleh. Namun tak kutemukan siapa pelakunya.

 

“Nduk. Hari ini berangkat kan ?” Emak lagi-lagi bertanya. Memastikan jika diriku akan pergi dalam suatu acara perkenalan antar muda-mudi. Anggap saja seperti perjodohan sukarela dimana wanita dijajakan didepan pria. Aku hanya menganggukan kepala menjawab pertanyaan emak.  Sengaja saja aku poles wajahku dengan sepolos mungkin. Masih berpegang teguh pada prinsip bahwa jodohku akan kucari sendiri tanpa melalui acara kuno seperti perkenalan muda-mudi.

Setiba diacara, masih saja sama. Aku menutup siapa saja yang akan masuk. Bahkan hanya untuk perkenalan lebih dalam saja kupalingkan wajah secara mentah-mentah. Beberapa beranggapkan aku adalah wanita ketus dan sombong yang tak tahu sopan santun. Tapi terserah lah, aku hanya mencoba melindungi hati dari harapan yang pada akhirnya membuat tersakiti.

Adzan dhuhur berkumandang. Menyudahi basa-basi basi yang membuatku enggan membuka diri. Sholat ditunaikan seperti biasa empat rakaat dengan dua tahiyat. Dan ketika al-fatihah terucap dalam satu rakaat terakhir. Badanku lemas seketika. Dadaku terasa sesak. Degupnya tak lagi main-main. Sholatku buyar. Bacaan rancu sudah tercampur dengan istigfar.

Rasa ingin segera menyudahi sholat dan menengok kedepan kuurungkan dengan meneguhkan iman. Sabar-sabar dengan istigfar saja kulakukan. Tepat setelah salam, perhatianku terpaku pada sosok yang tengah berdiri menyesaikan sholatnya. Seseorang yang membuatku mati lemas dengan mengirimkan rasa yang tak pernah bisa kupahami sedari dulu.

Ku angkat saja dua telapak tangan. Mencoba menengadah meminta pada Yang kuasa. Doa ku tak pernah sedalam itu saat aku meminta. Hanya meminta sepatah-patah kata dan bertanya mengapa kau beri rasa jika pada akhirnya kau jatuhkan aku dengan tanpa harapan. Aku sadar diri siapa laki-laki yang tengah aku sebutkan dalam doa. Sebuah bulan yang sulit digapai untuk pungguk seperti diriku. Aku sadar diri dalam cinta dan tak banyak meminta tentang dia.

 Saat kuusap telapak tangan pada wajahku. Mata kita bertemu. Aku dan dia si bulan. Beberapa saat terpaku saling tatap. Tentunya dengan hati yang tak bisa diajak berkompromi. Seenaknya memacu jantung untuk lebih berkerja keras dalam menahan debaran. Segera saja ku hentikan dengan kabur dari tempatku duduk dan tak lagi berani kembali.

 

 

“Gimana nduk ? ada yang nyantol satu ?” tanya emak . Aku yang baru saja menapakkan langkah pertamaku di depan pintu hanya mengulum senyum sambil menggeleng.

“Terus dapet apa disana ?”

Aku berpikir keras untuk menjawab. Sebab jika belum diceritakan apa yang terjadi saat acara muda-mudi barang sedikitpun emak tidak akan berhenti bertanya.

“Tadi to Mak, ada cowok yang bikin aku deg-deg an. Orangnya soleh. Ganteng lagi.” Ocehku pada emak.

“Lha bagus. Jadi kamu bisa move on sama yang satunya. Siapa dia ?”

“Enggak ah mak, aku masih mau nunggu aja. Toh aku gk pantes buat dia.”

“Lho belum perang kok sudah mundur.  Mau nunggu sampai kapan ? Ini udah dua tahun lebih tanpa kepastian lho. Dan sekarang orangnya malah ngilang.”

Aku terdiam mendengar ucapan emak. Seakan ditampar realita untuk sadar.

 

 

Satu minggu setelah ditampar emak. Sebuah pesan mendarat. Mengabari jika penantianku selama ini akan berbuahkan hasil. Seseorang yang disuruh emak untuk dilupakan. Seseorang yang menghilang tanpa kepastian. Seseorang yang kucari-cari setiap kali ada kesempatan. Saat ini berkata bahwa ia meminta maaf telah menyakitiku dengan pergi meninggalkan sejuta pertanyaan tanpa bisa ia jelaskan.

Aku hanya terdiam mendengarkan suara yang keluar dari benda yang ku genggam. Layarnya menampilkan detik berjalan menunjukan berapa  lama kita sudah berbincang.

“Mas, terlambat.”Ucapku memotong penjelasannya. Kemudian hanya sunyi yang terdengar.

Benar. Terlambat. Karena disaat yang bersamaan seseorang telah datang ke rumah. Memintaku untuk menjawab niat baiknya meminang diriku.

 

Aku bersimpuh diatas sajadah. Tangan mengadah bibir bergumam pelan. Berkata “Tuhan, Bagaimana bisa kau menyuruh dua hati untuk menginggahi diriku ? Manakah yang harus aku suguhkan hati ? Dan manakah yang hanya kopi ?”

Kata-kataku tercekat. Bayangan akan mereka terlihat jelas. Sang rembulan yang datang membawa lamaran atau si pemilik janji yang kini kembali untuk menepati ? Aku dihadapkan pada pilihan yang membuatku frustasi. Hati tak bisa lagi kupercayai. Aku mencintai pemilik janji, tapi mengapa sedari dulu hati ini selalu berdebar saat bertemu sang rembulan ? Lalu dengan bersamaan mereka datang.

“Tuhan, beri petunjuk untukku memperjelas rasa ini. Aku tak ingin pilihanku kelak mempengaruhi diriku. Rasa penyesalan atas menjatuhkan pilihan. Netralkan semua. Jangan sampai  setelah bersuami aku masih menyangkutkan hati pada orang lain. Beri aku cara agar dapat membedakan mana obsesi dan mana kata hati.” Pintaku bersungguh.

“Tuhan, aku tidak akan meminta siapa menjadi siapa dalam hidupku. Sudah lelah aku memaksamu melakukan itu. Hanya saja bantu aku menetapkan satu dalam pilihanku.”

Dalam sepertiga malam itu hanya aku dan DiriNya berbincang. Pengajuan negosiasi masih belum dilobi. Hasilnya ? Tentu Dialah yang menuntunku memilih rasa.

Image
Image

Comments

BLANTERVERIONv101