Gadis itu termenung. Bukan lagi pada bingkai
jendela besar. Tapi pada beranda
kamarnya yang lebih tepat disebut balkon. Dia termenung bukan karna langit yang
gelap tiada bintang ataupun bulan. Mungkin karna benaknya yang ingin
mengeluarkan kata-kata namun tak mampu terucap. Ingin meluapkan emosi tapi
bimbang melakukannya. Ingin menahannya namun seperti tak sanggup lagi berpura
pura.
Gadis itu hanya menatap nanar pantulan dirinya.
Dari kaca jendela yang terbuka. Memandangnya seksama. Menjelajahi seluruh
gambar dirinya. Tersenyum. Lalu beranjak masuk. Mengambil sebuah cangkir yang
berisi setengah air. Bukan lagi kopi. Kini dirinya ingin tertidur nyenyak tanpa
perlu bergadang terlarut malam.
Ia lelah setiap malam harus terjaga hingga
menjelang subuh. Dia bosan terus mengotak-atik gambaran kenangan akan masa
lalunya. Akan sesosok yang menyentuh jurang dasar hatinya.
Cukup sudahlah aku berlari. Terlampau jauh aku
meraihnya.
Ia kembali pada
teras balkon. Masih dengan cangkir di tangannya. Balutan selimut tak lupa
melilitnya. Memang dingin. Mungkinkah karna suasana hatinya ? Dingin. Tak
berasa. Tak sehangat dulu saat dia polos belum mengenal apa-apa.
Kembali ia meneguk
air hangat yang mengepul dalam cangkir. Pelan-pelan perlahan. Menyesapnya
menikmati suhu hangat yang melewati tenggorokan. Tanpa sengaja mata indah itu
menangkap sesosok pada permukaan cangkir. Itu dirinya. lagi dan lagi dia
melihat bayangan. Seakan muak akan semua yang tercipta. Muak atas apa yang
melekat pada kisahnya.
Jangan ditanya
apakah malam ini mendung atau cerah berbintang. Karna sekalipun itu tak ada
kesan baginya. Namun tak seindah dulu ketika bulan masih bersahabat dengannya.
Dan sekarang, bukannya sudah menjadi musuh atau membencinya. Hanya saja
sekarang dia tak lagi memedulikannya. Memperhatikan bulan yang kini ia jauh
darinya.
Ah, sosoknya kini
sudah tak terlihat lagi di depanku. Sepertinya dia telah tenggelam dalam
dunianya. Kukejar pun tak kan mampu melawan. Berharap menyusul saja sudah pahit
keyakinan. Hey, haruskah aku menyerah dalam keadaan menyedihkan seperti ini ?
tapi apa yang bisa kuperbuat untuknya ? toh, dia sama sekali tak menoleh ke
belakang untuk sekedar formalitas saja. Begitu acuh.
Sudah berapa
purnama aku menanti bersama senja ? masih saja waktu belum bersekutu denganku.
Aku tak meminta dia menjadi miliku. Aku hanya membutuhkan kata “yes” or “no”.
Itu saja.
Mungkinkah
terlampau tinggi inginku ? hanya sebuah kata saja. Sehingga aku bisa memutuskan
berhenti atau tetap menanti. Berhenti jika memang tak lagi menggapainya.
Menanti jika memang masih ada satu perlombaan lagi tuk mengejarnya.
Cerita macam ini.
Pelarian dari hidupkah ? atau kisah akan kejar mengejar dalam hati. Merebut
posisi pemenang tuk menawan kekuasaan. Kuasa atas wilayah hati dan dirinya.
Konyol. Berlomba
dengan waktu. Melawan takdir. Bagaimana bisa kau menjadi pemenang. Bisa saja
jika mereka satu kubu denganmu. Tanpa pernah kau tahu. Namun semua itu hanya
kemungkinan seperseribu dari kemungkinan yang ada.
Mengapa masalah
hati begitu rumit hanya untuk sekedar bertanya? Ataukah memang sang para
penguasa yang mempersulitnya. Supaya mereka semua mengerti akan apa itu
perjuangan. Penantian. Rasa sakit. Dan segala jenisnya.
Terserahlah. Aku
lelah. Aku lupa berapa purnama sudah terlewati. Berapa kali senja sudah
menemani. Hingga matahari saja menertawai. Mungkin sebanding dengan banyaknya
bintang yang menyebar di angkasa.
Jam berdenting
keras. Alarm menandakan jika dia harus berhenti menjelajah pikiran. Air dalam
cangkir saja sudah habis ditelan. Jika ia tetap mengikuti alur pikirnya
bisa-bisa sampai senja datang lagi dia masih belum tertidur. Terus terjaga
karna benaknya yang terus berputar.
Gadis itu menghela
sejenak. Mencoba mengalah dengan ego yang meminta masih tetap memikirkannya.
Jemari jemarinya mencoba merelakskan dengan merapatkan kembali selimut.
Membenarkan bagian yang mungkin tak perlu untuk di perhatikan. Dia mulai
melangkah masuk. Meletakan cangkir kosong dan mulai merebahkan tubuh mungil
itu. Mencoba terlelap menutup matanya perlahan.
Lantunan lagu
penghantar tidurnya masih berputar. Menemani mencoba memecah keheningan.
Mungkin sebagai kawan dalam rasa kesepian. Entah. Akankah harapan untuk dirinya
masih tersisa di esok hari ? akankah mimpi menghapus segala kenangan yang ingin
ia lupakan ?
Mulutnya masih
bergumam saat mata itu perlahan tertutup “ Aku percaya akan diri-Nya”.